A. PENGANTAR
Beberapa pengartian hokum adat yang diberikan oleh para sarjana hokum adalah sebagai berikut :
a. Prof. Dr. Soepomo, SH
Hokum
adat sebagai hokum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan
legislative (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang
meskipun yidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung
oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan
tersebut mempunyai kekuatan hokum.
b. Dr.Soekanto
Hukum
adaty sebagai kompleks adat – adat yang kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi
mempunyai akibat hokum.
Sifat Hukum Adat
Para pengamat hukum adat dari kalangan pengetahuan hukum di Barat,melihat hukum adat bersifat konkret, supel dan dinamis.
- Konkret
Sebagaimana
kita sebut di atas, hukum adat sangat memperhatikan setiap persoalan
yang dihadapkan kepadanya secara khusus dengan pendirian bahwa setiap
soal tidak sama dengan soal yang lainnya sekalipun serupa. Setiap soal
perlu mendapat perlakuan yang khusus sesuai dengan individualitasnya tersebut. Pengaturannya tidak
dibuat secara apriori, akan tetapi selalu situasional dan individual.
Dalam wawasan hukum adat tidak ada soal yang serupa dan sama. Setiap
soal selalu menuntut perlakuan yang tersendiri secara khusus dan tidak
atas dasar aturan yang umum dan abstrak.
Karena
itu hukum adat juga memerlukan bahan-bahan yang empiris nyata yang
memudahkan mengerjakannya dengan baik, cepat dan sesuai. Untuk ini maka
setiap soal hukum adat diarahkan telebih dulu kepada penemuan
kelembaganya dengan mempergunakan bahan – bahan nyata yang tersedia dan
bersangkutan dengan soalnya.
- Supel :
Hukum
adat dalam dirinyaa dibangun dengan asas-asas pokok saja. Soal – soal
yang yang detail diserahkan kepada pengolahan asas-asas pokok itu dengan
memperhatikan situasi kondisi dan waktu yang dihadapi.
Dalam
kerangka tujuan ini di dalam hukum adat dipertahankan suatu suasana di
mana setaip konflik memperoleh penyelesaian yang tuntas yaitu : suatu
penyelesaian menyeluruh yang menjawab segala aspek yang ada dan yang
mungkin di kemudian hari ada; tidak dapat ada lagi soal tambahan
dikemudian hari.
- Dinamis
Hukum
adat pada prinsipnya adalah hokum rakyat. Tidak ada suatu badan
pembuatnya yan secara pasti ditetapkan untuk membuat peraturan baru pada
setiap ada perubahan keadaan dan perubahan keadaan hokum. Sebagai hokum
rakyat yang mengatur kehidupan yang terus menerus berubah dan
berkembang pembuatnya adalah rakyat sendiri. Hokum adat karena itu
menjalani perubahan-perubahan yang terus menerus melalui
keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh
masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu piikir melalui
permusyawaratan. Dalam hal itu setiap perkembangan yang terjadi selalu
diusahakan mendapat tempatnya di dalam tata hokum adat. Hal-hal yang
lama yang tidak lagi dapat dipergunakan atau dipakai, secara tidak mencolok diubah atau ditinggalkan.
B. PEMBAHASAN
1. CORAK HUKUM ADAT
Soepomo mengatakan: Corak atau pola-pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2. Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit,
artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya
hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan
hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.
4. Hukum adat mempunyai sifat visual,
artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena
ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang
tampak).
Moch Koesnoe mengemukakan corak hukum adat :
1. Segala
bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja.
Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak
mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai
kemungkinan arti kiasan dimaksud;
2. Masyarakat
sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam
hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok,
sebagai satu kesatuan yang utuh;
3. Hukum
adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam
lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan
keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan,
kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama;
4. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum adat.
Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:
Ø Tradisional;
artinya bersifat turun menurun, dari nenek moyang hingga zaman sekarang
keadaanya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat
bersangkutan.
Ø Keagamaan (Magis-religeius);
artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan
kepercayaan terhadap yang gaib / magis (animisme-dinamisme; kepercayaan
terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang; kepercayaan terhadap
Tuhan).
Terlihat
pada adanya upacara-upacara adat yang lazim diadakan sesajen-sesajen
yang ditujukan pada roh-roh leluhur yang ingin diminta restu atau
pertolongan [Soerojo 1979].
Ø Kebersamaan (Komunal),
artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan
pribadi diliputi kepentingan bersama. Dalam konsep pemikiran hokum
adat, indivoidu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat, dan fungsi dari masing-masing individu adalah dipandang
untuk melangsungkan fungsi dan kelangsungan masyarakat. (M. Koesnoe)
Ø Kongkrit / Visual;
Konkrit = → Jelas, nyata, berwujud.
→ Satunya perkataan dan perbuatan (perbuatan itu benar-benar merupakan realisasi dari perkataan). (Soerojo 1979).
Contoh: jual-beli → pembayaran harga dan penyerahan barang, dilakukan pada saat yang sama (sifat terang dan tunai).
Visual = → Dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi.
→ Pemberian tanda-tanda yang kelihatan untuk bukti penegasan atau penuduhan dari apa yang akan atau telah dilakukan. (Soerojo 1979).
Contoh: Panjer, peningset.
Ø Terbuka dan Sederhana;
Tebuka → selalu menerima unsur-unsur dari luar, namun yang sesuai atau setelah disesuaikan dengan jiwa hokum adat itu sendiri.
Sederhana
→ tidak rumit, tidak administrative, kebanyakan tidak tertulis, muda
dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling percaya mempercayai.
(Hilman 1992).
Ø Dapat
berubah dan Menyesuaikan; artinya hokum adat bersifat dinamis / tidak
statis. Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh berkembang seperti
hidup itu sendiri. (Soepomo 1996)
Ø Tidak dikodifikasi; artinya hokum adat sebagian besar tidak tertulis (non statutair)
Ø Musyawarah
dan Mufakat; artinya untuk memulai dan mengakhiri pekerjaan. Sebagai
sarana penyelesaian perselisihan / sengketa → berdasarkan asas rukun.
[M. koesnoe]. → Dilakukan secara rukun dan damai serta saling memaafkan.
Sifat
dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan
masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak
masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat
sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun
ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.
Corak
dari hukum adat hanya dapat diketahui dengan secara sungguh-sungguh
bilamana tentang ajaran-ajaran Hukum adat yang menjadi jiwanya.
Ajaran-ajaran itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah, kata-kata
berkias yang mendalam serta yang hikayat atau riwayat-riwayat yang hidup
dan diceritakan dari mulut kemulut sepanjanng generasi yang terus
berganti-ganti. Selain itu juga dapat diperiksa praktek ajaran itu yang
dituangkan kedalam keputusan dan pelaksanaan dari lembaga dan
prinsip-prinsip hhukum adat dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat.
Corak
pertama hokum adat adalah pandangannya adalah segala bentuk rumusan
adat yang berupa kata-kata adalah suatu kias saja. Dari itu menjadi
tugas bagi kalangan yang menjalankan hokum adat untuk banyak mempunyai
pengetahuan dan berbagai kemungkinan arti kiasan yang dimaksud.
Dalam
hubungannya dengan ini maka hokum adat pada masa silam lebih menyukai
bretuk tidak tertulis. Karena apa yang tertulis, sebagai bentuk suatu
rumusan, dapat mudah menimbulkan salah sangka. Namun begitu,hokum adat
tidak menolak segala bentuk symbol untuk menyatakan ajaran adat baik
bentuk tertulis maupun bentuk tidak tertulis.
Corak
kedua dari hokum adat ialah bahwa masyarakat sebagai keseluruhan selalu
menjadi pokok perhatiannya. Artinya bahwa dalam hokum adat kehidupan
manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok sebagai suatu kesatuan yang
utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak mungkin hidup menyendiri
tanpa terkait dalam persenyawaan citarasa akal budinya dan keadaan.
Disitu
hokum adat memperhatikan primair kepentingan masyarakat secara
keseluruhan yang meliputi : kelanjutan hidup dan eksistensinya yang
bersifat lahir dan batin seperti cinta, benci, puji, dendam, dan
sebagainya yang terdapat hidup bersama anatara para individu yang
menjadi warganya.
Bagi hukum adat yang dipandang secara pokok bukan seseorang individu dalam persoalan hak-haknya, tetapi eksistensi yang sejahtera yang meliputi keseluruhan. Karena keseluruhan yang sejahtera membawa individu yang menjadi warganya juga sejahtera.
Corak
ketiga ialah hokum adat lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas
pokok saja. Lembaga-lembaga hokum adat diisi menurut tuntutan waktu,
tempat dan keadaan di mana segalanya diukur dengan asas pokok yaitu
kerukunan, kepatutan dan kelarasan dalam hidup bersama.
Corak
keempat ialah pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para
petugas hokum adat untuk melaksanakan hokum adat. Hal ini dapat
dikatakan sebagai konsekuensi watak ketiga, yang hanya mencukupkan diri
dengan asas-asas pokok dan kerangka kelembagaannya saja. Dari itu
perinciaannya menuntut keahlian, kejujuran dan wawasan kebijaksanaan
yang memadai untuk menjadi petugas hukum adat.
Di
sini pula kekhususan hukum adat mengenai kedudukan petugas hukumnya.
Dengan kepercayaan yang begitu besar untuk menggarap asas-asas pokok itu
maka terhadap soal diri pribadi petugas hukum. Hukum adat menuntut
terbuktinya dalam kenyataan dan pengalaman tentang dipenuhinya persyaratan kecakapan, kejujuran dan kesusilaan serta kepemimpinan yang tinggi dari seseorang untuk dapat menjadi petugas hokum adat.
Perbandingan system hokum adat dan system hokum barat (CIVIL LAW SISTEM)
Civil Law Sistem
|
Sistem Hukum Adat
|
· Statutary Law.
|
· Unsttutary Law.
|
· Mengenal zakelike rechten dan persoonlinke rechten.
|
· Tidak mengenal pembagian hak sebagaimana demikian.
|
· Mengenal dikotomi pembidangan hokum: hokum public dan hokum privat.
|
· Tidak mengenal pembidangan hokum.
|
· Menggolongkan pelanggaran hokum ke dalam pelanggaran pidana dan perdata.
|
· Tidak mengenal penggolongan pelanggaran sebagaimana demikian.
|
· Sanksi dalam hokum berfungsi sebagai alat pemaksa.
|
· Sanksi bukan sebagai alat pemaksa, tetapi sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan kosmis.
|
Sebab-sebab adanya perbedaan tersebut (Soerojo 1979):
1. Corak yang berlainan antara hokum adat dan hokum barat.
2. Pandangan hidup / jiwa (Von Savigny = volksgeist) yang berlainan di antara kedua system hokum di atas.
§ Dunia barat → liberalis-rasionalistis
§ Dunia
timur → bersifat kosmis, tidak ada perbedaan antara tata dunia lahir
dan gaib. Dunia manusia berhubungan dengan segala hidup di alam yang
saling bersangkut-paut, pengaruh-mempengaruhi.
2. CORAK-CORAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
Setiap daerah memiliki hukum adat masing-masing. Di antaranya hokum adat daerah NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bali.
A. PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
1. Kewilayahan
Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang secara
khusus mengatur kewilayahan Masyarakat hukum adat sampai saat ini belum
ada. Namun demikian, secara informal pemerintah provinsi maupun
kabupaten memberikan pengakuan terhadap wilayah dimana Masyarakat hukum
adat mengatur pemerintahannya. Selain itu Pemerintah Daerah juga
mengakui adanya wilayah yang dikuasai secara kolektif oleh Masyarakat
hukum adat yang dikenal dengan tanah ulayat.
2. Kebudayaan
Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) yang dikenal dengan sebutan serambi Makkah, telah
menerapkan aturan-aturan hukum Islam bagi warga masyarakatnya dalam
kehidupan sehari-hari. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Provinsi NAD tahun 2007 – 20012 pada butir 1 ditegaskan, bahwa
”.....lembaga keagamaan harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi
masing-msing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan
wewenang.”
Organisasi
sosial dan perkumpulan sosial serta perkumpulan adat berkembang dengan
baik. Pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan, bahwa :
”.......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi
masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan
wewenang”. Kemudian pada ayat 1 menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan
memberikan perhatian lebih secara seksama dan mendukung upayaupaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh.
Di
dalam RPJM Provinsi NAD di bidang ekonomi pada butir 3) ditegaskan,
bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian serius pada pengembangan
ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan di bidang ekonomi. Kemudian
di bidang sumber daya alam pada butir 2) ditegaskan, bahwa ”.... jika
HPH hanya memberikan kepada pengusaha, maka di masa mendatang,
Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem pengelolaan hutan yang dikelola
sendiri oleh rakyat secara lestari, berkesinambungan dan bertanggung
jawab untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri”. Kemudian berkenaan dengan
komunikasi dan seni budaya, pada ayat 1 juga menegaskan, bahwa
Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian secara seksama dan mendukung
upaya-upaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh. Antara
lain mendorong rakyat untuk menghidupkan kembalai tata cara sopan santun
ke-Aceh-an dalam keluarga, dan menyelanggarakan secara reguler festival
dan seni Aceh.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Implementasi
pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah
secara yuridis (Perda) belum ada. Pengakuan ditemukan secara tertulis
pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan, bahwa : ”.......lembaga
adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing dan
tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang”.
b. Kendala
Belum tersedianya Peraturan Daerah yang secara khusus dan tegas mengatur eksistensi kelembagaan adat dengan segala hak-haknya.
4. Harapan
Tersedianya
Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus dan tegas mengatur
kelembagaan Masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, sehingga
tidak menimbulkan permasalahan dalam penguasaan tanah ulayat.
B. PROVINSI SUMATERA UTARA
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Pengakuan
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi Sumatera Utara
terhadap Masyarakat hukum adat, yaitu adanya pengakuan terhadap hak atas
wilayah (lahan) secara kolektif bagi Masyarakat hokum adat yang disebut
dengan tanah ulayat dengan hak-hak masyarakat untuk mengelolanya. Namun
demikian pengakuan ini belum secara tertulis dalam bentuk Peraturan
Daerah atau sejenisnya, sehingga pengakuan tersebut belum memiliki
kekuatan yuridis.
b. Kebudayaan
Dalam
upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat, Gubernur Sumatera Utara pada
tahun 2007 mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2007 tentang
Strategi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Peraturan Gubernur tersebut kemudian disusul dengan dikeluarkannya
Peraturan Gubernur Nomor 37 tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah dalam
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Sementara itu, persoalan
tanah yang melibatkan masyarakat dengan pemerintah terus terjadi. Pada
tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta Umat mengajukan surat kepada
Mendagri dan DPR RI yang intinya mengklaim tanah-tanah perkebunan yang
tebentang luas di Sumatera Timur sebagian besar diusahakan di atas lahan
hak ulayat masyarakat Melayu. Sultan Deli mengklaim tanah eks-konsesi
Kesultanan Deli yang sekarang merupakan lahan perkebuan tembakau, kepala
sawit dan tebu (PTPN II) adalah tanah ulayat mereka. Atas desakan
berbagai pihak, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menerbitkan dua Surat
Keputusan Bupati Deli Serdang, yakni SK No. 112
Tahun
2000 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarkat
Hukum Adat di Kabupaten Deli Serdang, dan SK Bupati Deli Serdang No 615
tahun 2001 tentang Adat di Kabupaten Deli Serdang.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Masyarakat hukum adat secara empiris masih ada di Provinsi Sumatera Utara.
Mereka mengelola kelembagaan adat dengan hak-hak atas lahan yang
penguasaannya secara kolektif, yang disebut dengan tanah ulayat. Sawah
dan ladang pada umumnya tanah pribadi, sedangkan tanah ulayat berupa
hutan atau perbukitan. Namun demikian tanah ulayat tersebut banyak yang
dikuasi oleh pemerintah (BUMN – PTPN II), sehingga seringkali
menimbulkan permasalahan antara masyarakat dengan pemerintah.
b. Kebudayaan
Kajian
tentang adat dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal. Struktur
kelembagaan adat di sini memiliki peranan yang sangat penting dalam
setiap pengambilan keputusan masyarakat. Di dalam kelembagaan adat
tersebut ada kepemimpinan adat (informal) yang lebih dominan
dibandingkan dengan kepemimpinan desa. Kepemimpinan adat ini dikenal
dengan Nini-Mama.
Kalau
pemerintah desa melaksanakan tugas-tugas administrasi pemerintahan,
maka tugas dari kepemimpinan adat adalah mengelola kegiatan yang
berkaitan dengan adat seperti pada upacara perkawinan, dan pemberian
sanksi adat bagi warga masyarakat yang melanggar normanorma adat.
Dalam
praktiknya, kedua lembaga pemerintahan ini cukup baik, dalam arti tidak
pernah terjadi konflik kepentingan selama menjalankan pemerintahan
masing-masing. Sistem kekerabatan menganut garis keturunan dari ibu atau
matrilineal. Artinya, pihak perempuan sebagai penentu dalam
membentuk hubungan kekerabatan. Namun demikian pihak laki-laki dapat
juga sebagai pencipta hubungan karena sebab perkawinan (afinity relationship). Dalam sistem kekerabatan ini dikenal adanya istilah semendo, yaitu tempat tinggal bagi orang yang sudah menikah di keluarga perempuan (pola matrilokal). Implikasi dari semendo ini pada hak waris pada anak
perempuan.
Sistem pengetahuan diperoleh masyarakat secara turun temurun. Misalnya,
pengetahuan tentang penyembuhan penyakit atau obat-obatan masih
dilakukan secara tradisional dengan tanaman obat yang dikenal penduduk.
Jika penduduk sakit atau melahirkan, mereka meminta pertolongan ke dukun
yang mereka namakan Dotu.
3. Implementasi dan Kendala pengakuan Hukum
a. Implementasi
Eksistensi
Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Utara masih mendapatkan
pengakuan dari Pemerintah Daerah. Mereka diberikan hak untuk mengatur
pemerintahan adat dan mengelola lembaga adat lengkap dengan struktur
organisasi adat. Berbagai bentuk upacara adat masih dipelihara dan
memperoleh apresiasi dari Pemerintah Daerah dalam acara pekan seni
budaya daerah. Namun demikian pengakuan hukum terhadap hak tradisional
Masyarakat hukum adat belum diimpelemntasikan dengan pemberian hak atas
tanah (hak ulayat).
b. Kendala
Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat.
4. Harapan
Ada
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarkat Adat,
termasuk mengatur tentang hak ulayat. Dengan adanya aturan yuridis ini,
maka hak-hak Masyarakat hukum adat akan dilindungi dari kepentingan
pihak-pihak luar.
C. PROVINSI SUMATERA BARAT
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Wilayah
sebagai tempat hidup kesatuan Masyarakat hukum adat di Provinsi
Sumatera Barat mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Daerah.
Wujud dari besarnya perhatian Pemerintah Daerah ini terbitnya Peraturan
Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Tanah
Ulayat. Bai I Pasal 1 dari Perda ini menegaskan pengertian umum, yaitu:
1). Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.
2). Tanah Ulayat adalah
adalah bidang tanah yang di atas dan di dalamnya terdapat hak ulayat
dai suatu masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.
3). Tanah Ulayat Nagari adalah
Tanah Ulayat yang merupakan kekayaan nagari, yang pengelolaannya berada
pada Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kepentingan masyarakat, sedangkan pengaturan dan pemanfaatannya
dilakukan oleh Pemerintah Nagari.
4). Tanah Ulayat Suku adalah
Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan Suku yang penguasaannya berada
pada Penghulu Suku dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
5). Tanah Ulayat Kaum adalah
Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan masing-masing kaum dalam suatu
suku yang pengaturannya berada pada Mamak Kepala Waris.
6). Penyerahan Hak Ulayat adalah
suatu kegiatan yang melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas
tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian
atas dasar musyawarah dan saling menguntungkan.
7). Gunggam Bauntuak adalah
peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk memakai dan
menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan Mamak Kepala
Waris.
b. Kebudayaan
Peraturan
Daerah Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulaya mengatur eksistensi
organisasi pemerintahan kesatuan masyarakat hokum adat dengan struktur
yang ada di dalamnya. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan struktur
pemerintahan adat, yaitu :
a). Nagari adalah
kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang
terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri.
b). Penghulu adalah orang yang dituakan dan didahulukan selangkah oleh kaumnya untuk memimpin kaumnya.
c). Penghulu Suku adalah
pemegang sako dan pusako yang diwarisi secara terus menerus menurut
sistem kekerabatan matrilineal yang berfungsi sebagai penguasa ulayat
menurut ”baris baladeh” dalam satu kesatuan ulayat Nagari.
d). Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua menurut adat dan atau yang dituakan dalam satu kaum.
e). Hukum Adat
adalah aturan/norma tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat hukum
adat Minangkabau untuk mengatur kehidupannya, mengikat dan
dipertahankan dalam kehidupan masyarakat dengan sanksi yang jelas.
f). Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari atau nama lain adalah Lembaga Permusyawaratan/PemufakatanAdat dan Syarak yang
berfungsi memberikan pertimbangan kepada Pemerintah Nagari supaya tetap
konsisten menjaga dan memelihara penerapan Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah di Nagari.
g). Kerapatan Adat Nagari atau
nama lain yang sejenis adalah Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan
Pemufakatan Adat tertinggi Nagari yang telah ada dan diwarisi secara
turun temurun sepanjang adat di tengah-tengah masyarakat Nagari Sumatera
Barat. Kemudian diterbitkannya Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera
Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Nagari.
Diterbitkannya Keputusan Gubernur ini merupakan komitmen dan konsistensi
Pemerintah Daerah dalam memelihara dan melestarikan kelembagaan dan
perangkat adat di Provinsi Sumatera Barat.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Konsep
Nagari adalah konsep pemerintahan desa adat di Sumatera Barat, yang di
dalamnya terdiri dari himpunan berbagai suku yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri. Jadi setiap Nagari sudah memiliki
batas-batas wilayah pemerintahan adat yang jelas dan tegas berdasarkan
kesepakatan para ketua adat secara turun temurun hingga generasi
sekarang.
b. Kebudayaan
Pada
umumnya masyarakat Minangkau adalah pemeluk agama Islam yang fanatik.
Proses transformasi ajaran Islam berjalan secara turuntemurun melalui
tempat-tempat ibadah di kampong kampung yang disebut dengan surau.
Jauh sebelum terbitnya Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan Tanah
Ulayat, secara tidak tertulis sudah ada pengakuan dari pemerintah
mengenai lembaga adat, hukum adat dan hak atas tanah ulayat kepada
kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Konsep Nagari, Penghulu, Penghulu Suku, Mamak Kepala Waris, dan Ninik Mamak sudah
menjadi ciri khas di dalam kebudayan masyarakat Sumatera Barat yang
dikenal luas secara nasional. Sistem kekerabatan yang berlaku menganut
pola matrilineal, artinya bahwa silsilah keturunan berdasarkan
garis ibu. Sebagai contoh, seorang laki-laki (paman), ia bertanggung
jawab untuk membantu anak dari saudara perempuanya sekandung
(kemenakan). Hal ini sudah menjadi adat istiadat pada masyarakat di
Minangkabau yang berlangsung secara turun temurun, dan akan terus
terpelihara melalui kelembagaan adat yang disebut Nagari.
Masyarakat
Minangkabau telah mengadaptasi teknologi sesuai jamannya, mulai
teknologi sederhana sampai teknologi modern. Adat istiadat Minangkabau
memberikan kesempatan kepada warganya agar tidak hanya memanfaatkan,
tetapi juga mampu mengembangkan teknologi untuk meningkatkan taraf
kehidupannya ke arah yang lebih baik. Masyarakat hukum adat memperoleh
pengetahuan secara turun temurun dari para leluhurnya. Biasanya
pengetahuan yang dipelajari berkaitan dengan pola hidup dan sistem mata
pencarian. Pada masyarakat hukum adat yang memiliki pekerjaan sebagai
nelayan di laut, maka pengetahuan lokal masyarakat lebih banyak
berhubungan dengan pengetahuan akan kondisi cuaca dan iklim, astronomi,
teknik penangkapan dan pengolahan ikan serta jenis dan habitat ikan.
Mereka mampu mengenal kalender musin dengan baik, meskipun demikian
tidak semua aktivitas mereka bergantung pada kalender. Masyarakat
mengenal musim Gabua, Ambu-ambu dan Udang karena pada musim-musin
tersebut didominasi jenis ikan-ikan tersebut. Selain itu mengenal juga
musim Anggau/ombak gadang ombak besar atau musim kemarau untuk
menjelaskan kondisi hasil tangkapan ikan tidak ada sama sekali. Kemudian
dikenal musim Payang atau Pukek untuk menjelaskan kondisi dimana hasil
tangkapan ikan melimpah. Adanya peruntukan tanah yang diperoleh anggota
kaum untuk memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam
pengawasan Mamak Kepala Waris, yang dikenal dengan Gunggam Bauntuak. Hal
ini sebagai bentuk kerukunan dan kebersamaan untuk menghilangkan
kesenjangan sosial antara warga dalam satu kaum maupun dalam satu
Nagari. Sistem penguasaan tanah secara kolektif pada tanah ulayat, akan
membangun sistem ekonomi kerakyatan yang seadil-adilnya.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Pemerintah
Daerah Provinsi dan Kabupen seProvinsi Sumatera Barat sampai saat ini
memberikan pengakuan yang masih cukup besar. Wujud besarnya pengakuan
dari Pemerintah Daerah ini dengan terbitkan Keputusan Gubernur Provinsi
Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Nagari.
b. Kendala
Belum semua yang berkaitan dengan kelembagaan adat dan hak-hak Masyarakat hukum adat diatur oleh Pemerintah Daerah.
4. Harapan
Harapan atas pengakun hukum terhadap Masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka adalah :
1.
Perlu lebih dioptimalkan implementasikan hukum adat, dan kearifan local
tetap dijunjung tinggi dan dihargai oleh Pemerintah Daerah.
2.
Partisipasi masyarakat perlu diperkuat lagi, sehingga lebih peduli
terhadap pembangunan yang berbasis adat dan kearifan lokal.
D. PROVINSI BALI
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Masyarakat
hukum adat di Bali tinggal dalam suatu desa adat yang dikenal dengan
Desa Pak raman. Eksistensi desa adat ini telah memperoleh pengakuan dari
pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3
Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
b. Kebudayaan
Kehidupan
beragama/kepercayaan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3
Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.di dalam Bab V Pasal 1. Pemerintah
Daerah menjamin setiap orang bebas menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran Hindu, dan menghormati masyarakat untuk melakukan ritual pada
hari-hari tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam ajaran
Hindu. Semua aspek aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya dalam
interaksi manusia dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui nilai,
norma, serta wadah struktur keorganisasian yang dibentuk, merupakan
sistem organisasi sosial. Berkenaan dengan sistem organisasi sosial
diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003
tentang Desa Pakraman Bab VII Pasal 1. Peraturan Daerah (Perda) yang
mengatur menggunaan/pengembangan teknologi belum ada. Meskipun demikian
pemerintah daerah terus mendorong seluruh masyarakat untuk mengembangkan
teknologi tepat guna yang akan memberikan manfaat bagi kehidupan yang
lebih baik. Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman yang mengatur
pengetahuan/pendidikan terdapat pada Bab IV Pasal 4.
Selain
itu melalui kebijakan dan program dinas pendidikan, pemerintah daerah
memberikan kesempatan kepada putra-putra daerah termasuk dari masyarakat
hokum adat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Program-program
bantuan pendidikan pun, diluncurkan oleh Pemerintah Daerah, yang
menjangkau seluruh anak-anak yang sedang menempuh pendidikan. Berkenaan
dengan aspek ekonomi, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di
dalamnya antara lain mengatur fungsi desa adat untuk membantu pemerintah
dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk
kesejahteraan masyarakat desa adat. Selain itu di dalam Peraturan Daerah
(Perda) tentang Desa Pakraman mengatur bidang keagamaan, kebudayaan dan
kemasyarakatan. Selanjutnya, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa
Pakraman di dalamnya mengatur dengan jelas, bahwa salah satu fungsi desa
adat adalah membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam
rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional
pada umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salungkung sabayantaka/ musyawrah untuk mufakat.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Desa adat dibatasi oleh wilayah tertentu, dimana menurut hukum adat disebut ”Prabumian Desa” atau Wewengkon Bale Agung”
. Wilayah desa adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh
perangkat pimpinan desa adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang
lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat desa adat.
b. Kebudayaan
Agama
Hindu menempati posisi ”superstruktur” bersama dengan nilainilai,
cita-cita dan simbol ekspresif lainnya. Kemudian desa adat (Pakraman)
sebagai lembaga berkedudukan sebagai ”dasar” bersama norma dan
organisasi lainnya. Agama Hindu merupakan payung bagi norma hokum adat (awig-awig)
dan organisasi sosial desa adat. Dengan demikian ajaran Hindu akan
terwujud dalam norma-norma adat kehidupan Krama Desa Adat. Desa Adat
(Pakraman) sebagai lembaga sosial keagamaan yang bertindak sebagai wadah
dan sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan agama di tingkat desa. Desa
Pakraman sejak awal telah ditata untuk menjadi desa religius, dibentuk
berdasarkan konsep-konsep dan nilai-nilai filosofis Agama Hindu.
Oleh karena itu, pengurus Desa Pakraman bukan Kepala Desa, melainkan Ketua (Kubayan, Bayan, Kelihan, Kiha, Kumpi, Sanat, Tuha-tuha), yang bermakna guru spiritual lokal di desa. Desa Pakraman terus mengadakan penyesuaian sesuai dengan asas Desa Mawa Cara. Desa
adat mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau
mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah tangganya bersumber
dari hukum adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan. Desa
Pakraman memiliki banjar sebagai pembagian wilayah kerja yang sudah
sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Bali. Desa ini
punya tugas dan kewajiban mengurus pura (kahyangan)
desa. Berbeda dengan desa-desa pada umumnya, sesungguhnya Desa Pakraman
ini ”pasraman” tempat melakukan penempaan diri di bidang pengamalan
dharma, untuk mendapatkan Catur Purusa Artha. Kemudian konsep dan nilai dasar dalam hubungan sosial dan kekerabatan adalah ’tat twam asli’ dimana konsep ini melahirkan nilainilai ; kerukunan (saling asah, saling asih, saling asuh, salunglung sabayantaka), keselaran (sagilik saguluk, briuk sapanggul), dan kepatutan (paras-paros, ngawe sukaning wong len). Awig-awig adalah
aturan hukum yang mengatur hubungan sosial antar warga masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Apabila ada warga masyarakat yang dinilai
melanggara awig-awig tersebut, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan
aturan adat yang berlaku.
Sebagai
masyarakat terbuka, masyarakat hukum adat di Bali leluasa untuk
mengakses dan memanfaatkan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan.
Meskipun demikian, pemanfaatan dan pengembangan teknologi tersebut tetap
harus memperhatikan aturan adat dan ajaran
Hindu.
Masyarakat hukum adat leluasa dalam berpartisipasi dalam pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai daerah tujuan wisata
internasional, setiap warga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
mempelajari berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan bahasa asing,
pemandu wisata, souvenir dan seluk beluk kepariwisataan. Fungsi
desa adat untuk membantu pemerintah menjaga, memelihara dan memanfaatkan
kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Tentu saja
pemanfaatan kekayaan desa adat tidak keluar dari rambu-rambu yang telah
diatur di dalam aturan adat, dan dimanfaatkan untuk mewujudkan
kesejahtyeraan bersama. Ciri Bali yang istimewa adalah agama, adat dan
budaya yang menyatu dan ini telah menjadi jati diri masyarakat Bali.
Oleh karena itu, kesenian sebagai salah satu bentuk kongkrit dari
kebudayaan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali. Berbagai
bentuk kesenian tradisional, baik tari, musik (tabuh), pahat, anyaman dan nyanyian tradisional (kidung) dikembangkan oleh masyarakat melalui padepokan (sanggar seni) secara turun temurun.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Masyarakat
hukum adat yang tinggal di Desa Pakraman sangat diakui oleh pemerintah
daerah dan masyarakat. Secara yuridis sudah ada pengakuan Pemerintah
Daerah terhadap lembaga adat (Kedamanangan), tanah adat, hak adat, hukum
adat, adat istiadat dan Kepala Desa Adat.
b. Kendala
Sejauh
ini tidak ada kendala yang dirasakan dalam implementasi hukum adat,
karena agama, adat dan budaya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat
secara turun temurun, dan terus dilembagakan dengan baik oleh pemerintah
maupun lembaga adat.
4. Harapan
a.
Pembinaan desa adat dan adat istiadat Bali ke arah keberdayaan,
kelestarian dan perkembangan dalam upaya meningkatkan peranan dan fungsi
desa adat dan adat istiadatnya. Melalui pembinaan ini bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang Trepti (tertib, tertata/teratur, sesuai tatanan masyarakat), Kerta (damai, tenteram, aman, harmonis), dan Jagadhita (sejahteralahir batin, adil, dan makmur).
b. Pembinaan dan mengefektifkan berfungsinya lembaga peradilan desa yang kongkrit de facto dilaksanakan
oleh Prajuru Desa Adat. Masalah yang berhubungan dengan adat dan agama
akan efektif apabila ditangani oleh Prajuru sebagai hakim desa.
C. KESIMPULAN
Ø Menurut
Prof. Dr. Soepomo, SH hukum adat sebagai hokum yang tidak tertulis di
dalam peraturan-peraturan legislative (unstatutory law) meliputi
peraturan-peraturan hidup yang meskipun yidak ditetapkan oleh yang
berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas
keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan
hokum.
Ø Para pengamat hukum adat dari kalangan pengetahuan hukum di Barat,melihat hukum adat bersifat konkret, supel dan dinamis.
Ø Corak
dari hukum adat hanya dapat diketahui dengan secara sungguh-sungguh
bilamana tentang ajaran-ajaran Hukum adat yang menjadi jiwanya.
Ajaran-ajaran itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah, kata-kata
berkias yang mendalam serta yang hikayat atau riwayat-riwayat yang hidup
dan diceritakan dari mulut kemulut sepanjanng generasi yang terus
berganti-ganti. Selain itu juga dapat diperiksa praktek ajaran itu yang
dituangkan kedalam keputusan dan pelaksanaan dari lembaga dan
prinsip-prinsip hhukum adat dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat.
D. KRITIK DAN SARAN
1. NAD
Karena Belum
tersedianya Peraturan Daerah yang secara khusus dan tegas mengatur
eksistensi kelembagaan adat dengan segala hak-haknya. Maka, diharapkan
Tersedianya Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus dan tegas
mengatur kelembagaan Masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya,
sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam penguasaan tanah ulayat.
2. Sumatera Utara
Belum
ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarakat hukum
adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat. Maka, perlu ada Peraturan
Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarkat Adat, termasuk mengatur
tentang hak ulayat. Dengan adanya aturan yuridis ini, maka hak-hak
Masyarakat hukum adat akan dilindungi dari kepentingan pihak-pihak luar.
3. Sumatera Barat
Belum
semua yang berkaitan dengan kelembagaan adat dan hak-hak Masyarakat
hukum adat diatur oleh Pemerintah Daerah. Sehingga diharapan atas
pengakun hukum terhadap Masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka adalah :
1.
Perlu lebih dioptimalkan implementasikan hukum adat, dan kearifan local
tetap dijunjung tinggi dan dihargai oleh Pemerintah Daerah.
2.
Partisipasi masyarakat perlu diperkuat lagi, sehingga lebih peduli
terhadap pembangunan yang berbasis adat dan kearifan lokal.
4. Bali
Sejauh
ini tidak ada kendala yang dirasakan dalam implementasi hukum adat,
karena agama, adat dan budaya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat
secara turun temurun, dan terus dilembagakan dengan baik oleh pemerintah
maupun lembaga adat.
Maka perlu:
a.
Pembinaan desa adat dan adat istiadat Bali ke arah keberdayaan,
kelestarian dan perkembangan dalam upaya meningkatkan peranan dan fungsi
desa adat dan adat istiadatnya. Melalui pembinaan ini bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang Trepti (tertib, tertata/teratur, sesuai tatanan masyarakat), Kerta (damai, tenteram, aman, harmonis), dan Jagadhita (sejahteralahir batin, adil, dan makmur).
b. Pembinaan dan mengefektifkan berfungsinya lembaga peradilan desa yang kongkrit de facto dilaksanakan
oleh Prajuru Desa Adat. Masalah yang berhubungan dengan adat dan agama
akan efektif apabila ditangani oleh Prajuru sebagai hakim desa.